Buku ini membahas tentang sosok perempuan, yang dikenal dengan nama Mak Yam. Nama aslinya adalah Hj. Maryam, perempuan asli madura itu memberikan warna tersendiri dalam perjalanan IAIN Sunan Ampel, yang sekarangan berubah nama menjadi UIN Sunan Ampel Surabaya. Ia bukan sekedar penjual, tapi sekaligus Ibuk bagi para aktivitis di masanya. Kantinnya tidak saja sebagai tempat untuk memenuhi kebutuhan makan dan minum. Kantin juga berarti tempat bertemunya sekian banyak orang. Pertemuan itu seakan menjadi kejadian yang biasa saja sebab dilakukan secara rutin setiap hari: pagi, siang, bahkan sore di saat menu yang disajikan akan habis.
Pada situasi yang demikian, kantin menjelma menjadi arena perebutan ruang sosial bagi kelompok tertentu, sehingga tidak jarang kita menemui kelompok A akan secara rutin berada di kantin X, sementara kelompok B akan konsisten duduk, makan minum dan ngobrol di kantin Y. Semua itu terjadi lantaran faktor kecocokan dengan menu makanan, kenyamanan, kecenderungan teman-temannya dalam menentukan pilihan.
Kantin memiliki daya tarik tersendiri bagi mahasiswa IAIN Sunan Ampel kala itu. Sebab di tempat inilah para mahasiswa dan mahasiswi bertemu secara bebas, tak ada lagi kata rikuh karena suda tidak secara langsung dalam pantauan dosen, seperti mereka saat berada di ruang kelas. Para senior dapat menyapa junior, begitu sebaliknya. Mereka dapat saling tebar peseona dengan berbagai modus, dan trik masing-masing. Para mahasiswa dari lintas jurusan, program studi, fakultas atau bahkan lintas kampus dapat berinteraksi secara langsung di ruang ini. Pendek kata, kantin menjadi tempat berbaur bagi siapa saja dari latar belakang yang luas. Interaksi antar mahasiswa ini tidak jarang menghasilkan hubungan-hubungan spesial di antara mereka.
Kantin menjadi jujugan bagi sebagian besar mahasiswa untuk mempertajam gagasan. Sambil ngopi, yang kadang hanya segelas—obrolan dapat dilakukan berjam-jam terutama saat hari sudah mulai siang. Diskusi-diskusi yang terjadi di kantin ini tidak jarang menjadi agenda gerakan/aksi yang dipelopori oleh mahasiswa. Pada masa-masa itu, saluran terbaik untuk membicarakan gerakan mahasiswa ya di kantin. Tempat ini menawarkan ragam menu, pengunjung yang beragam, suasana yang rileks, bahkan tak jarang menawarkan solusi bagi kantong para mahasiswa yang mulai menipis. Kantin kala itu juga telah menjadi sentral bermulanya gerakan mahasiswa: demonstrasi, pentas musik, atau pentas teater tak jarang yang memilih kantin sebagai permulaan aksi mereka.
Ibu kantin seperti telah terbiasa dengan ragam aktifitas mahasiswa itu, bahkan ia dapat hadir dengan telaten menyuguhkan menu dan obrolan khas ala warga kampus. Ibu kantin bisa jadi jauh lebih pinter dari para mahasiswa yang rutin berdiskusi di tempat mereka, sebab ia menghimpun dari sekian banyak informasi yang beredar di tempatnya.
Ibu kantin adalah saksi sejarah pergulatan intelektual mahasiswa di kampus, yang kelak saat mahasiswa ini telah pulang dan mengabdi di lingkungan masyarakat yang lebih luas, ia akan kembali menyapa ibu kantin dengan suasana batin yang sentimentil: “Mak Yam, Ya Allaaaahh piye kabare Mak?! Aku kangen dadare spean, Mak!”. Sontak Mak Yam juga menyambut dengan histeris: “Riiiiiqqq, Piye kabarmu, Riq? Wes dadi wong sukses rek, sampek gak kober sambang kampus. Mangan opo iki? Dadar yo?.
Tidak berlebihan jika saya menempatkan Mak Yam sebagai orang yang secara kultural memiliki kampus. Ini beberapa kali saya cermati dari kalimat yang hampir berulang dan serupa dalam kesempatan yang berbeda dan pada alumni yang berbeda pula: “sampek gak kober sambang kampus” bukan sambang kantin. Kampus begitu lekat dengan diri dan kehidupan Mak Yam. Ia adalah saksi perjalanan hidup generasi bangsa.
Dalam kenangan sebagain besar mahasiswa yang merasakan menu Mak Yam, ia akan sulit menemukan olahan dadar telur seperti yang disuguhkan oleh Mak Yam. Saya kira semua mahasiswa di era saya akan setuju, saat saya sebut kenangan terbaik dengan Mak Yam adalah soal dadar, sambal, dan nasi yang banyak. Itulah kenapa, saat para alumni ini kembali, yang dicari adalah: Pindah nandi Mak Yam? Ayo nang Mak Yam.
Persisnya, saya mengenal pemilik salah satu kantin di UIN Sunan Ampel Surabaya ini dengan panggilan Mak Yam. Itu berarti ada generasi yang lebih tua, sebab generasi sebelum saya lebih banyak memanggilnya dengan Mbak Yam. Kini Mak Yam yang saya kenal lebih akrab dipanggil dengan sebutan Umik: Suatu frasa yang mengarah pada kesepuhan spiritual.
Selamat jalan Mak Yam! Damailah di Sana.
Semoga Allah mengampuni dosa-dosamu, dan menerima segala amal baikmu!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar